Sahabat Nabi Yang Gagal Miskin

Suatu ketika Rasulullah SAW berkata, Abdurrahman bin Auf RA akan masuk surga terakhir karena terlalu kaya. Ini karena orang yang paling kaya akan dihisab paling lama.

Maka mendengar ini, Abdul Rahman bin Auf RA pun berfikir keras, bagaimana agar bisa kembali menjadi miskin supaya dapat masuk syurga lebih awal.

Setelah Perang Tabuk, kurma di Madinah yang ditinggalkan sahabat menjadi busuk. Lalu harganya jatuh. Abdurrahman bin Auf RA pun menjual semua hartanya, kemudian memborong semua kurma busuk milik sahabat tadi dengan harga kurma bagus.

Semuanya bersyukur, Alhamdulillah, kurma yang dikhawatirkan tidak laku, tiba-tiba laku keras! Diborong semuanya oleh Abdurrahman bin Auf.

Sahabat gembira, Abdurrahman bin Auf RA pun gembira. Sahabat lain gembira sebab semua dagangannya laku. Abdurrahman bin Auf RA gembira juga, sebab berharap jatuh miskin!

Abdurrahman bin Auf RA merasa sangat lega, sebab tahu akan bakal masuk surga dulu, karena sudah miskin. Namun, Subhanallah, rencana Allah itu memang yang terbaik.

Tiba-tiba, datang utusan dari Yaman membawa berita, Raja Yaman mencari kurma busuk. Rupa-rupanya, di Yaman sedang berjangkit wabah penyakit menular dan obat yang bisa menyembuhkannya adalah kurma busuk!

Utusan Raja Yaman berniat memborong semua kurma Abdurrahman bin Auf RA dengan harga 10 kali lipat dari harga kurma biasa.

Allahuakbar, orang lain berusaha keras jadi kaya. Sebaliknya, Abdurrahman bin Auf berusaha keras jadi miskin tapi selalu gagal. Benarlah firman Allah: “Wahai manusia, di langit ada rezeki bagi kalian. Juga semua karunia yang dijanjikan pada kalian.” (QS. Adz Dzariat:22)

Jadi, yang banyak memberi rezeki itu datangnya dari kurma yang bagus atau kurma yang busuk? Allah SWT lah yang Memberi Rezeki.

Ibroh dari kisah ini sangat spesial buat kita, sebab ini membuat kita harus yakin bahwa rezeki itu totally dari Allah, bukan hanya karena usaha kita itu sudah cukup bagus atau produk kita yang terbaik yang akan memberi kita omzet yang banyak. Kadang-kadang, keyakinan dalam hati kita itu yang belum cukup kuat dan bulat.

Ali Bin Abi Thalib Menjawab

– Wahai Imam, apa makna sabar?

+ Imam Ali As: Sabar itu ada dua; sabar atas apa yang kau cintai dan sabar atas apa yang kau benci.

 

– Wahai Imam, bagaimana cara memutuskan masalah?

+ Imam Ali As: Lebih baik engkau memilih kekalahan dalam kebenaran, daripada menang dalam kedzoliman.

 

– Wahai Imam, apa hakikat mengabdi (berbakti)?

+ Imam Ali As: Setiap kali engkau melaksanakan bakti maka kesulitan akan menghadang, sebab dibalik kesulitanlah terletak pengabdian.

 

– Wahai Imam, apa yang harus aku amalkan hari ini dan esok?

+ Imam Ali As: Hari ini semua perbuatan tanpa perhitungan dan hari esok (akhirat) hanya ada perhitungan tanpa perbuatan.

 

– Wahai Imam, bicaralah tentang kenikmatan dan malapetaka!

+ Imam Ali As: Ketahuilah bahwa puncak kenikmatan dunia selalu lebih rendah dibandingkan dengan nikmatnya Surga, dan seluruh malapetaka di dunia adalah suatu kesenangan dibanding Neraka.

 

– Wahai Imam, apa yang paling mencemaskan hati manusia?

+ Imam Ali As: Perjalanan yang amat jauh dan cita-cita yang menggunung.

 

– Wahai Imam, apakah kekayaan yang paling mengagumkan?

+ Imam Ali As : Apabila engkau tak membutuhkan apa yang berada di tangan orang lain.

 

– Wahai Imam, dosa apakah yang terbesar?

+ Imam Ali As: Dosa terbesar adalah dosa yang diremehkan oleh pelakunya.

 

– Wahai Imam, apakah kehinaan yang besar di dunia ini?

+ Imam Ali As: Seseorang yang selalu mencari kesalahan orang lain, sedangkan dirinya penuh dosa dan kesalahan.

 

-Wahai Imam, bagaimana agar aku dapat menilai diri manusia?

+ Imam Ali As: Nilai manusia tersimpan di lidah dan tatapan matanya.

 

– Wahai Imam, bagaimana sifat seorang pendusta?

+ Imam Ali As: Pendusta takut pada bayangan dirinya, meskipun dia dalam keadaan aman.

 

– Wahai Imam, apa yang membuat ketuaan?

+ Imam Ali As: Susah hati sudah setengah ketuaan.

 

– Wahai Imam, dengan apa tujuan tercapai?

+ Imam Ali As: Tujuan tercapai dengan ketenangan hati, ketekunan, dan kerja keras.

Tabarukan Air Wudhu Rasulullah

Oleh Habib Umar bin Hafidz.

Pernah Sayyidinna Bilal datang membawa air untuk Nabi ﷺ melakukan wudhu’. Sayyidinna Bilal menuangkan air untuk Nabi Muhammad ﷺ sekaligus menadah untuk mengumpulkan air yang mengalir dari tubuh Nabi Muhammad ﷺ yang diberkati itu dalam sebuah wadah lain.

Kemudian ia akan pergi dan membawa air bekas wudhu’ ini untuk dibagikan kepada para sahabat, yang berebutan dan nyaris bertengkar agar bisa mendapatkan bagian meski sedikit dari air itu. Ada yang membasuh kepala, wajah atau dada mereka dengan air itu, bahkan ada yang meminumnya. Mereka yang tidak menerima bagian dari air itu akan menyeka atau menempelkan kulit mereka pada para sahabat yang dapat bagian air.

Ini adalah ‘pemahaman para sahabat’, di masa keemasan dan kaum terbaik dalam sepanjang sejarah Islam, mereka tahu arti dari barokah. Di tengah-tengah mereka ada yang terbesar dari semua tauladan sehingga mereka tidak membutuhkan orang lain untuk memperbaiki pemahaman mereka, takkan ada yang berkata bahwa itu syirik, atau bid’ah atau ribut bertanya mana dalilnya.

*Tabarukan = Mencari berkah dengan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan sumber yang membawa kebaikan, tetap dalam syari’at.

Pelajaran Dalam Masalah Cinta

Rasulullah SAW pernah duduk bersama para shahabatnya dan menanyai mereka dimulai dari Sayyidina Abu Bakr RA,

Rasulallah SAW: “Apa yang engkau cintai dari dunia ini?”

Abu Bakr RA: “Yang saya cintai dari dunia ini ada tiga; Duduk di hadapanmu SAW, Melihatmu SAW dan Menginfaqkan hartaku untukmu SAW.”

Rasulallah SAW: “Dan engkau wahai Umar, apa yang kamu cintai dari dunia ini?”

Umar RA: “Yang saya cintai dari dunia ini ada tiga; Mengajak kepada kebenaran walaupun secara sembunyi-sembunyi, Mencegah kemungkaran walaupun secara terang-terangan dan Mengatakan yang haq (benar) walaupun itu pahit.”

Rasulallah SAW: “Dan engkau wahai Utsman, apa yang kamu cintai dari dunia ini?”

Utsman RA: “Yang saya cintai dari dunia ini ada tiga; Memberi makan, Menyebarkan salam dan Shalat di malam hari di saat manusia tidur”

Rasulallah SAW: “Dan engkau wahai Ali, apa yang kamu cintai dari dunia ini?”

Ali RA: “Yang saya cintai dari dunia ada tiga; Memuliakan tamu, Berpuasa di musim panas dan Membunuh musuh dengan pedang.”

Kemudian Nabi SAW menanyai Abu Dzar Al-Ghifary, “Apa yang kamu cintai di dunia ini?”

Abu Dzar Al-Ghifary: “Yang saya cintai di dunia ini ada tiga hal; Rasa lapar, Sakit dan Mati.”

Rasulallah SAW: “Mengapa?”

Abu Dzar Al-Ghifary: “Saya mencintai rasa lapar agar hatiku menjadi lembut, saya mencintai sakit agar dosaku berkurang dan saya mencintai mati agar aku dapat bertemu dengan Rabbku.”

Rasulallah SAW: “Aku telah dijadikan mencintai tiga hal dari dunia kalian ini; Wangi-wangian (parfum), Wanita (kasih sayangnya) dan Dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.”

Dan pada waktu itu turun Jibril AS dan mengucapkan salam kepada mereka dan berkata,

“Dan saya mencintai tiga hal dari dunia kalian; Menyampaikan risalah (pesan), Menunaikan amanah dan Mencintai orang-orang miskin.”

Kemudian ia naik ke langit dan turun kembali dan berkata:

“Allah azza wa jalla mengucapkan salam kepada kalian dan mengatakan, sesungguhnya Ia mencintai tiga hal dari dunia kalian; Lidah yang senantiasa berdzikir, Hati yang khusyuk dan Jasad (tubuh) yang sabar atas musibah. Maha Suci Allah dan Segala Puji BagiNya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung.”

Agar Jangan Sampai Dikatakan

Inilah True Story yang terjadi pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab RA.

Suatu hari Umar sedang duduk di bawah pohon kurma dekat Masjid Nabawi. Di sekelilingnya para sahabat sedang asyik berdiskusi sesuatu. Di kejauhan datanglah 3 orang pemuda. Dua pemuda memegangi seorang pemuda lusuh yang diapit oleh mereka. Ketika sudah berhadapan dengan Umar, kedua pemuda yang ternyata kakak beradik itu berkata,

“Tegakkanlah keadilan untuk kami, wahai Amirul Mukminin! Qishashlah pembunuh ayah kami sebagai had atas kejahatan pemuda ini!”

Umar segera bangkit dan berkata, “Bertakwalah kepada Allah, benarkah engkau membunuh ayah mereka wahai anak muda?” Pemuda lusuh itu menunduk sesal dan berkata, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”

“Ceritakanlah kepada kami kejadiannya.”, tukas Umar. Pemuda lusuh itu memulai ceritanya, “Aku datang dari pedalaman yang jauh, kaumku memercayakan aku untuk suatu urusan muammalah untuk kuselesaikan di kota ini. Sesampainya aku, kuikat untaku pada sebuah pohon kurma lalu kutinggalkan dia. Begitu kembali, aku sangat terkejut melihat seorang laki-laki tua sedang menyembelih untaku, rupanya untaku terlepas dan merusak kebun yang menjadi milik laki-laki tua itu. Sungguh, aku sangat marah, segera kucabut pedangku dan kubunuh ia. Ternyata ia adalah ayah dari kedua pemuda ini.”

“Wahai, Amirul Mukminin, kau telah mendengar ceritanya, kami bisa mendatangkan saksi untuk itu.”, sambung pemuda yang ayahnya terbunuh.

“Tegakkanlah had Allah atasnya!” timpal yang lain.

Umar tertegun dan bimbang mendengar cerita si pemuda lusuh.

“Sesungguhnya yang kalian tuntut ini pemuda shalih lagi baik budinya. Dia membunuh ayah kalian karena khilaf kemarahan sesaat”, ujarnya.

“Izinkan aku, meminta kalian berdua memaafkannya dan akulah yang akan membayarkan diyat atas kematian ayahmu”, lanjut Umar.

“Maaf Amirul Mukminin,” sergah kedua pemuda masih dengan mata marah menyala, “Kami sangat menyayangi ayah kami, dan kami tidak akan ridha jika jiwa belum dibalas dengan jiwa.” Umar semakin bimbang, di hatinya telah tumbuh simpati kepada si pemuda lusuh yang dinilainya amanah, jujur dan bertanggung jawab.

Tiba-tiba si pemuda lusuh berkata,”Wahai Amirul Mukminin, tegakkanlah hukum Allah, laksanakanlah qishash atasku. Aku ridha dengan ketentuan Allah”, ujarnya dengan tegas. “Namun, izinkan aku menyelesaikan dulu urusan kaumku. Berilah aku tangguh 3 hari. Aku akan kembali untuk diqishash.” “Mana bisa begitu?”, ujar kedua pemuda.

“Nak, tak punyakah kau kerabat atau kenalan untuk mengurus urusanmu?” tanya Umar. “Sayangnya tidak ada Amirul Mukminin, bagaimana pendapatmu jika aku mati membawa hutang pertanggungjawaban kaumku bersamaku?” Pemuda lusuh balik bertanya. “Baik, aku akan memberimu waktu tiga hari. Tapi harus ada yang mau menjaminmu, agar kamu kembali untuk menepati janji “, kata Umar. “Aku tidak memiliki seorang kerabatpun di sini. Hanya Allah, hanya Allah lah penjaminku wahai orang-orang beriman”, rajuknya.

Tiba-tiba dari belakang hadirin terdengar suara lantang, “Jadikan aku penjaminnya wahai Amirul Mukminin.” Ternyata Salman Al Farisi yang berkata. “Salman! Kau belum mengenal pemuda ini. Demi Allah, jangan main-main dengan urusan ini”, hardik Umar marah. “Perkenalanku dengannya sama dengan perkenalanmu dengannya, ya Umar. Dan aku mempercayainya sebagaimana engkau percaya padanya”, jawab Salman tenang. Akhirnya dengan berat hati Umar mengizinkan Salman menjadi penjamin si pemuda lusuh. Pemuda itu pun pergi mengurus urusannya.

Hari pertama berakhir tanpa ada tanda-tanda kedatangan si pemuda lusuh. Begitupun hari kedua. Orang-orang mulai bertanya-tanya apakah si pemuda akan kembali. Karena mudah saja jika si pemuda itu menghilang ke negeri yang jauh.

Hari ketiga pun tiba. Orang-orang mulai meragukan kedatangan si pemuda, dan mereka mulai mengkhawatirkan nasib Salman. Salah satu sahabat Rasulullah SAW yang paling utama. Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh. Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.

Akhirnya tiba waktunya penqishashan, Salman dengan tenang dan penuh ketawakkalan berjalan menuju tempat eksekusi. Hadirin mulai terisak, orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.

Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok bayangan berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit kembali.

“Itu dia!” teriak Umar, “Dia datang menepati janjinya!”

Dengan tubuh bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda itu ambruk di pangkuan Umar.

“Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku..” , ujarnya dengan susah payah. “Tak kukira.. urusan kaumku.. menyita..banyak.. waktu. Kupacu.. tungganganku.. tanpa henti, hingga.. ia sekarat di gurun.. terpaksa.. kutinggalkan.. lalu aku berlari dari sana..”

“Demi Allah”, ujar Umar menenanginya dan memberinya minum, “Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?”

“Agar.. jangan sampai ada yang mengatakan..di kalangan Muslimin..tak ada lagi ksatria..tepat janji..” , jawab si pemuda lusuh sambil tersenyum.

Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru, lalu ia bertanya, “Lalu kau Salman, mengapa mau-maunya kau menjamin orang yang baru saja kau kenal?”

“Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin, tidak ada lagi rasa saling percaya dan mau menanggung beban saudaranya”, Salman menjawab dengan mantap.

Hadirin mulai banyak yang menahan tangis haru dengan kejadian itu.

“Allahu Akbar!” tiba-tiba kedua pemuda penggugat berteriak,

“Saksikanlah wahai kaum Muslimin, bahwa kami telah memaafkan saudara kami itu!” Semua orang tersentak kaget. “Kalian..” ujar Umar, “Apa maksudnya ini? Mengapa kalian..?” Umar semakin haru.

“Agar jangan sampai dikatakan, di kalangan Muslimin tidak ada lagi orang yang mau memberi maaf dan sayang kepada saudaranya”, ujar kedua pemuda membahana.

“Allahu Akbar!” teriak hadirin. Pecahlah tangis bahagia, haru dan bangga oleh semua orang.

Kerendahan Hati Sayyidina Abu Bakar & Sayyidina Ali

Diriwayatkan pada suatu hari Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib pergi berkunjung ke rumah Rosululloh. Setibanya di depan pintu rumah Nabi, satu sama lain saling mendorong rekannya untuk masuk terlebih dahulu.

Sayyidina Abu Bakar: “Kamu duluan, ya Ali!”

Sayyidina Ali: “Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Aba Bakr, sedang Rasulullah sendiri pernah bersabda tentangmu, ‘Belum pernah matahari terbit atau terbenam atas seseorang sesudah para nabi, lebih utama dari Abu Bakar’.”

Sayyidina Abu Bakar: “Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Ali, sedang Rasulullah juga pernah bersabda tentangmu, ‘Aku telah menikahkan wanita terbaik kepada lelaki terbaik, aku nikahkan putriku Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib’.”

Sayyidina Ali: “Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Aba Bakar, sedang Nabi SAW pernah bersabda, ‘Kalau iman umat ini ditimbang dengan iman Abu Bakar, tentu akan lebih berat timbangan iman Abu Bakar’.”

Sayyidina Abu Bakar: “Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Ali, sedang Rasulullah pernah bersabda tentangmu, ‘Dikumpulkan Ali bin Abi Thalib di Padang Mahsyar pada hari Kiamat kelak dengan berkendaraan bersama Fatimah, Hasan dan Husain, lalu orang-orang bertanya-tanya, “Nabi siapa gerangan itu?” Lalu ada yang menjawab, “Ia bukan nabi, tetapi Ali bin Abi Thalib dan keluarganya.”

Sayyidina Ali: “Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Aba Bakar, sedang Rasulullah pernah bersabda tentang engkau, ‘Kalau aku harus mempunyai kekasih selain dari Rabbku, tentu aku akan memilih Abu Bakar sebagai kekasihku’.”

Sayyidina Abu Bakar: “Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Ali, sedang Rasulullah pernah bersabda, ‘Pada hari kiamat aku bersama Ali, lalu Allah berfirman kepadaku: “Wahai kekasihku, aku telah pilihkan untukmu, Ibrahim Al-Khalil sebagai ayah terbaikmu, dan Aku telah pilihkan untuk Ali sebagai saudara dan sahabat terbaikmu.”

Sayyidina Ali: “Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Aba Bakar, sedang Allah Ta’ala pernah berfirman tentangmu, ‘Dan orang yang datang membawa kebenaran dan orang yang membenarkannya, mereka itu adalah orang-orang yang bertaqwa’ (QS. Az-Zumar: 33).”

Sayyidina Abu Bakar: “Mana mungkin aku akan mendahuluimu, ya Ali sedang Allah Ta’ala juga telah mengisyaratkanmu dalam firman-Nya, ‘Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari kerelaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya’ (QS. Al-Baqarah: 207).”

Pada waktu keduanya sedang asyik memperbincangkan keutamaan sahabatnya, Jibril datang berkunjung kepada Rasulullah, seraya berkata: “Ya Rasulullah, di luar sana ada Abu Bakar dan Ali hendak menemuimu. Pergilah, sambutlah keduanya!”

Maka Rosululloh segera bangkit dari duduknya, menyambut mesra dan mempersilakan masuk kedua sahabatnya yang mulia. Beliau SAW menempatkan Sayyidina Abu Bakar di sebelah kanannya dan Sayyidina Ali di sebelah kirinya, seraya berkata kepada mereka, “Demikianlah kami kelak dibangkitkan di hari Kiamat.”

Akhlak mereka itu persis dengan ayat Allah yang berbunyi:

“Dan rendahkanlah sayapmu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara: 215)